Elegi Berserakan

https://tinyurl.com/y6kymrbt

Dalam titian waktu yang memudar, terurai benang-benang takdir yang terjalin rapuh, merangkai jalinan kata tanpa suara, dalam senyap yang berdentang di relung sunyi. Di mana keheningan menjadi saksi dari jiwa yang terperangkap dalam jaring misteri yang tak tersingkap. Hati-hati yang dahulu berkelindan dalam simfoni keserasian, kini terjeda di antara detak detik yang terseok dalam kegetiran.

Dua wajah dalam cermin yang sama, namun terpisah oleh tabir tebal ketidaktahuan, menjelma bayang-bayang tanpa wujud, terhempas di antara riak-riak pemahaman yang tak pernah menyentuh dasar. Kata-kata yang terucap menjadi gemuruh yang berbalik tanpa makna, terpantul kembali dalam gema sepi yang tak kunjung henti, memahat luka yang tak terobati dalam ruang tanpa akhir.

Adakah pengertian yang masih mungkin digapai, di tengah jarak yang merentang tanpa batas? Ataukah hanya sisa-sisa harapan yang kian meredup, tenggelam dalam keraguan yang tak bertepi? Di sini, dalam elegi yang terurai menjadi serpihan-serpihan rasa, jiwa yang terserak merintih dalam kesepian, merindukan sentuhan yang tak lagi mungkin diraih. Maka biarlah sunyi ini menjadi penghantar bagi setiap langkah yang tersesat, menyusuri jejak-jejak yang memudar dalam malam tanpa cahaya.

Namun, dalam tiap percik cahaya yang mengintip di balik kelam, ada bayang yang selalu hadir, sosok yang teguh dalam diam, namun diamnya penuh dengan **** yang tak berkesudahan. Di setiap pertukaran pandang, tergurat garis keras yang tak tergoyahkan, seperti dinding batu yang menolak dihempas oleh arus sungai, mengklaim kebenaran yang hanya berakar pada dirinya sendiri.

Bagiku hingga yang dulu seiring sejalan, kini terbelenggu oleh bayangan diri yang menjulang, menutup segala celah untuk memahami, untuk menyelami hati yang mendamba pengakuan tanpa syarat. Ia berdiri kokoh, menara keakuan yang menolak runtuh, mengabaikan bisikan lembut yang ingin menembus kerasnya sikap, menyisakan jiwa lainnya dalam kekosongan yang tak terisi.

Setiap kata menjadi perangkap, setiap percakapan berubah menjadi medan pertempuran tanpa akhir, di mana kebenaran menjadi komoditas yang diperebutkan, namun tak pernah dibagi. Ego yang mengakar kuat, menjelma rimba yang tak dapat ditembus, menumbuhkan duri yang melukai setiap upaya mendekat, setiap usaha merengkuh yang terluka dalam diam.

Dan di antara celah-celah retak yang kian melebar, elegi terserak terus mengalun, meratapi kehancuran yang terjadi perlahan, namun pasti. Jiwa yang satu berharap, namun harapannya terhempas dalam badai yang tak tertundukkan, terperangkap dalam lingkaran putus asa yang tak berujung. Maka, biarkanlah elegi ini mengalir, membiarkan kata-kata terserak di antara jarak yang tak terjembatani, dan dalam sunyi, mengubur cinta yang dulu bercahaya dalam pekat yang kini tak bertepi.

Dalam akhir yang tak pernah direncanakan, ketika segala upaya telah terjuntai dalam kekosongan, mereka berdiri terpisah oleh bentangan sunyi yang tak terukur.

yang merajai satu hati,

yang pernah begitu kuat mencengkeram,

yang pernah mengalirkan air mata

Telah membentuk tembok tak kasat mata yang tak dapat diterobos oleh pengertian. Cinta yang dahulu menyala, kini tersulut menjadi api yang membakar tanpa cahaya, meninggalkan abu-abu yang berterbangan dalam angin kesepian. Maka biarlah elegi ini menjadi akhir yang terlukis di atas kanvas waktu, di mana keheningan menjadi saksi terakhir dari kisah yang hancur dalam bayang-bayang ego yang terlalu kuat untuk ditundukkan. Seperti bunga yang layu dalam genggaman, perasaan mereka pun terserak dalam kegelapan, menghilang tanpa pernah benar-benar terhubung.

Namun di balik reruntuhan dan abu-abu kenangan, terselip harapan yang masih berdenyut, meski dalam sunyi yang paling dalam. Harapan bahwa suatu saat, akan mencair dalam hangatnya keinsyafan, memberikan ruang bagi cahaya pengertian untuk kembali bersinar. Harapan bahwa kata-kata yang terserak akan dirangkai ulang menjadi kalimat-kalimat pemahaman, dan hati yang terbelenggu akan menemukan kebebasannya dalam kerendahan hati. Meskipun jika keharusan kita terpisah, ada kemungkinan untuk bertemu kembali dalam titik persimpangan yang baru, di mana kejujuran dan kasih sayang menjadi fondasi yang menggantikan dan ketidaktahuan. Semoga dari sisa-sisa elegi ini, tumbuh sebuah narasi baru, sebuah awal yang dilandasi oleh harapan dan cinta yang lebih bijaksana.

Harapan yang masih berdenyut, meski dalam sunyi yang paling dalam

mencair dalam hangatnya keinsyafan,

memberikan ruang bagi cahaya pengertian untuk kembali bersinar

Harapan bahwa kata-kata yang terserak akan dirangkai ulang menjadi kalimat-kalimat pemahaman, dan hati yang terbelenggu akan menemukan kebebasannya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukunya Tak Pernah Dibaca

Rumusan Kolektif dan Perdebatan yang Persuasif dalam Ijtihad Jama’i

Sumpah Hukum di Pelataran Etika

Questions Without Answers

Narasi Kronik Diferensiasi Pengabdian KKN

Fanatisme Islam & Truth Claim seputar "Al fikroh al Najiyah"

Privasi Era Digital Milik Siapa Data Kita

Martin Luther King dan Gerakan Hak Sipil

Positivisme Logis Ludwig Wittgenstein: dalam Pengembangan Logika dan Bahasa