Narasi Kronik Diferensiasi Pengabdian KKN

 

KKN Wangi Sagara sebagai sarana yang berhadapan dengan kenyataan yang plural dan heterogen. mesti meretas batas-batas antara teori dan praksis, serta antara subjek dan objek. Mahasiswa tidak hanya sekadar melakukan pengabdian, tetapi juga harus mengalami transformasi ontologis yang membentuk kembali identitas mereka melalui konfrontasi pemberdayaan.” – yang nulis


Program Kuliah Kerja Nyata SISDAMAS mengemuka sebagai wujud konkret dedikasi perjalanan dan kemanusiaan, mahasiswa dalam lintasan pengabdian kepada masyarakat. Dalam narasi kronik pengabdian di desa Wangi Sagara, mesti menguak lapisan-lapisan makna yang mengupas esensi fundamental dari peran dan fungsi mahasiswa sebagai katalis perubahan sosial. Dalam wacana ini, narasi tersebut tidak hanya menjadi deskripsi statis, melainkan sebuah teks dinamis yang memetakan kedalaman makna dan eksistensi mahasiswa dalam lanskap sosial-budaya yang penuh nuansa dan kompleksitas.

Kita haruslah mempertanyakan narasi besar dan mencari makna dalam fragmen-fragmen pengalaman yang tersebar. Seperti halnya Derrida dengan dekonstruksinya, membongkar struktur-struktur baku dan menemukan makna dalam diferensiasi dan ketidakpastian. KKN di Wangi Sagara mesti menjadi arena di mana mahasiswa berhadapan dengan kenyataan yang plural dan heterogen, meretas batas-batas antara teori dan praksis, serta antara subjek dan objek. Dalam proses ini, mahasiswa tidak hanya sekadar melakukan pengabdian, tetapi juga harus mengalami transformasi ontologis yang membentuk kembali identitas mereka.

Bagi Baudrillard, realitas KKN di Wangi Sagara bisa dilihat sebagai simulakra, di mana tanda-tanda dan representasi menggantikan yang nyata. Mahasiswa menjadi agen yang bergerak dalam hiperrrealitas, di mana pengalaman dan pengetahuan mereka terjalin dalam jaringan simulasi sosial. Pengabdian bukan lagi tindakan linear dengan tujuan jelas, tetapi sebuah permainan tanda yang terus-menerus mencipta ulang makna dan realitas. Di sini, esensi pengabdian perlu menjadi cair, selalu berubah sesuai dengan interaksi dan interpretasi yang terjadi di antara mahasiswa dan masyarakat.

Sementara itu, kita pula harus melihat KKN sebagai praktik diskursif yang sarat dengan relasi kuasa. Narasi pengabdian di Wangi Sagara merupakan medan di mana berbagai wacana bertarung dan bersilang, membentuk konfigurasi pengetahuan yang memengaruhi tindakan sosial. Mahasiswa, dalam kerangka ini, adalah subjek yang terbentuk oleh dan sekaligus membentuk wacana yang ada. Mereka tidak hanya menyampaikan pengetahuan, tetapi juga memproduksi dan mendistribusikan kekuasaan melalui praktik pengabdian mereka. Dengan demikian, pengabdian menjadi arena untuk mendekonstruksi relasi kuasa dan merekonstruksi pengetahuan yang lebih inklusif dan memberdayakan.

Narasi kronik pengabdian KKN di desa Wangi Sagara lebih dari sekadar laporan kegiatan. Ia adalah teks terbuka yang mengundang pembaca untuk terus-menerus menafsirkan dan mengeksplorasi kedalaman makna, menemukan kompleksitas dan keindahan dalam setiap fragmen pengalaman yang dihadirkan. Mahasiswa, sebagai aktor utama dalam narasi ini, mengemban peran yang tidak statis, tetapi selalu dalam proses dinamis untuk menjadi, menjelajahi dan menciptakan makna baru dalam setiap langkah pengabdian mereka. 


Dialektika Sosial Mahasiswa dan Desa

Di dalam konstelasi sosial Dusun Tiga, Desa Wangi Sagara, kita menyaksikan suatu dinamika kultural yang memancar dalam wujud gedung budaya—simbol supremasi warisan dan kemajuan budaya. Terdapat Gedung Budaya, yang berdiri kokoh, yang bukan hanya sekadar bangunan fisik, melainkan representasi dari klaim identitas kebudayaan yang dijunjung tinggi oleh penduduknya. Keberadaan gedung budaya ini menegaskan bahwa Desa Wangi Sagara bukan sekadar ruang geografis, tetapi sebuah entitas hidup yang mengandung narasi sejarah dan transformasi.

Dalam perspektif Hegel gedung budaya tersebut dapat dilihat sebagai manifestasi dari tesis—sebuah kenyataan yang mengandung ide dasar kemajuan dan kehormatan budaya. Mahasiswa yang hadir dan berinteraksi dengan desa ini diandang perlu membawa antitesis, berupa pandangan progresif dan kritis terhadap warisan budaya tersebut. Dalam pertemuan ini, terjadi sintesis, di mana warisan tradisional diperkaya dengan ide-ide baru, menciptakan sebuah realitas budaya yang lebih kompleks dan dinamis. Dialektika ini tidak hanya merajut hubungan antara mahasiswa dan masyarakat, tetapi juga membentuk kembali identitas kultural desa tersebut dalam bingkai waktu yang terus bergerak maju.

Di RW 10 yang mendapatkan gelar Bedas, simbolisasi kebersihan dan kesehatan menunjukkan kemenangan atas keterbatasan dan tantangan lingkungan. Menurut pandangan Habermas, pencapaian ini merupakan hasil dari tindakan komunikatif di mana konsensus dan tindakan kolektif tercapai melalui dialog yang rasional. Mahasiswa, dalam konteks ini, berperan sebagai fasilitator dialog, mendorong masyarakat untuk berpartisipasi aktif dalam menjaga kebersihan dan kesehatan lingkungan mereka. Proses ini menggarisbawahi pentingnya komunikasi yang terbuka dan partisipatif dalam mencapai perubahan sosial yang positif.

Menyoroti bagaimana gelar Bedas ini merupakan produk dari rezim pengetahuan tertentu yang mengatur perilaku masyarakat. Dalam konteks ini, mahasiswa tidak hanya sebagai penguat pemberdayaan, tetapi juga sebagai subjek yang terlibat dalam produksi dan reproduksi diskursus kebersihan dan kesehatan. Mereka membantu menciptakan wacana yang mengarusutamakan pentingnya kebersihan dan kesehatan, membentuk cara berpikir dan bertindak masyarakat. Dengan demikian, gelar Bedas bukan hanya prestasi fisik, tetapi juga hasil dari operasi kekuasaan yang tersebar dalam jaringan sosial dan disiplin desa.

Lyotard, dengan skeptisisme terhadap narasi besar, mengajak kita untuk melihat pencapaian ini sebagai hasil dari mikro-narasi yang beragam. Setiap individu dalam RW 10 tersebut memiliki kisah dan kontribusinya sendiri yang, meski kecil, berkontribusi pada pencapaian kolektif. Mahasiswa, dalam perspektif ini, berfungsi sebagai katalis yang mengumpulkan dan menyinergikan mikro-narasi ini, menciptakan jaringan kompleks interaksi yang membawa perubahan nyata.

Dialektika sosial antara mahasiswa dan desa di Dusun Tiga, Desa Wangi Sagara, menunjukkan bahwa perubahan sosial dan kultural adalah hasil dari interaksi dinamis antara tradisi dan modernitas, antara wacana kekuasaan dan partisipasi, serta antara mikro-narasi individu dan narasi kolektif. Gedung budaya dan gelar Bedas menjadi simbol dari proses ini, menegaskan bahwa identitas dan kemajuan sebuah desa adalah hasil dari dialektika yang terus berkembang, diperkaya oleh interaksi dan kontribusi berbagai pihak.

Kebudayaan di Desa Wangi Sagara, khususnya di Dusun Tiga, tidak sekadar mencerminkan adat kebiasaan yang diikat oleh hukum tradisional yang dijunjung luhur. Di balik lapisan-lapisan adat dan hukum tersebut, terdapat suatu dinamika sosial yang hidup dan terus berkembang, mencerminkan serta mewariskan nilai-nilai kebudayaan yang lebih dalam dan universal. Salah satu kampung di Dusun Tiga yang mendapat penghargaan sebagai desa bersih tidak hanya menunjukkan pencapaian fisik, tetapi juga mengangkat nilai kebudayaan yang mengakar dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam pandangan Bourdieu, kebudayaan ini dapat dilihat sebagai bentuk kapital simbolik yang dimiliki oleh masyarakat Desa Wangi Sagara. Kampung yang mendapat penghargaan sebagai desa bersih memiliki habitus yang terbentuk dari praktik sehari-hari yang mencerminkan nilai-nilai kebersihan dan kesehatan. Praktik ini menjadi bagian dari doxa, yakni nilai-nilai yang diterima begitu saja sebagai kebenaran dalam masyarakat. Mahasiswa, dalam interaksinya dengan masyarakat desa, turut berperan dalam mempertahankan dan memperkuat habitus ini melalui berbagai kegiatan yang mendorong kesadaran akan pentingnya kebersihan dan kesehatan.

Kebudayaan di Dusun Tiga dapat dilihat sebagai arena hegemoni di mana nilai-nilai kebersihan dan kesehatan diinternalisasi oleh masyarakat melalui proses kepemimpinan intelektual dan moral. Penghargaan sebagai desa bersih adalah bentuk dari keberhasilan hegemonik di mana nilai-nilai tersebut diterima secara luas dan menjadi bagian integral dari identitas kolektif masyarakat. Mahasiswa berfungsi sebagai organic intellectuals yang harus membantu menyebarluaskan dan memperkuat hegemoni ini, melalui penyuluhan, diskusi, dan praktik-praktik sehari-hari yang mendukung terciptanya lingkungan yang bersih dan sehat.

Sementara itu, Adorno dan Horkheimer mengingatkan kita akan pentingnya kritisisme terhadap praktik kebudayaan yang tampak ideal. Penghargaan sebagai desa bersih bisa saja menyembunyikan dinamika kekuasaan yang lebih kompleks, di mana standar kebersihan dan kesehatan yang diadopsi mungkin berasal dari narasi dominan yang tidak selalu sejalan dengan konteks lokal. Mahasiswa di sini perlu berperan sebagai kritikus budaya, mengajak masyarakat untuk terus mempertanyakan dan mengkritisi standar-standar tersebut, memastikan bahwa nilai-nilai yang diwariskan benar-benar sesuai dengan kebutuhan dan kondisi lokal.

Kebudayaan di Dusun Tiga dapat dianalisis sebagai assemblage—kumpulan dari berbagai elemen yang saling terhubung dan membentuk satu kesatuan yang dinamis. Nilai-nilai kebersihan dan kesehatan adalah bagian dari assemblage ini, di mana setiap elemen, baik itu tradisi, praktik sehari-hari, interaksi sosial, maupun penghargaan yang diterima, saling berinteraksi dan membentuk identitas kebudayaan yang unik. Mahasiswa, dalam keterlibatannya, turut berperan dalam membentuk dan mengubah assemblage ini, membawa elemen-elemen baru yang memperkaya kebudayaan lokal.


Transformasi Sosial Melalui KKN: Antara Jangkauan dan Tindakan

Di tengah kilauan dan tantangan transformasi sosial, Dusun Tiga di Desa Wangi Sagara menawarkan sebuah mikro-kosmos yang kaya akan kontradiksi dan potensi. Dalam ruang ini, peran mahasiswa sebagai agen perubahan menemukan medan dinamis di mana idealisme dan realita saling berinteraksi. Di antara pengrajin wacil, pembuat kembang melati untuk pengantin, dan seniman alat musik tradisional seperti angklung dan gendang, terletak tanggung jawab besar untuk memberdayakan sektor kebudayaan dan ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya mandiri.

Melalui lensa pemikiran Barthes, wacil dan alat musik tradisional dapat dilihat sebagai mitos budaya yang mengandung makna simbolis yang melampaui fungsinya. Para pengrajin dan seniman ini bukan hanya pencipta benda seni, tetapi penjaga warisan simbolis yang memelihara identitas kolektif. Mahasiswa, dalam konteks ini, berperan sebagai semiolog yang membongkar lapisan-lapisan makna dan membantu masyarakat menyadari nilai intrinsik dari kebudayaan mereka. Dengan demikian, pemberdayaan tidak hanya berupa pelestarian fisik, tetapi juga revitalisasi makna yang terkandung dalam setiap karya seni.

Dalam ranah ekonomi, kita melihat bahwa hanya beberapa RW yang berhasil mengembangkan UMKM, sementara yang lainnya masih berjuang untuk mencapai kemandirian. Melalui kacamata Marx, kesenjangan ini mencerminkan ketidakmerataan distribusi modal dan sumber daya. Mahasiswa yang terlibat dalam KKN dihadapkan pada tugas berat untuk mengatasi alienasi ekonomi dengan cara memberdayakan masyarakat melalui program-program pelatihan, akses permodalan, dan pemasaran yang inovatif. Proses ini melibatkan perubahan struktur sosial-ekonomi yang memungkinkan masyarakat untuk menjadi agen produktif yang mandiri.

Pemberdayaan Sampah Menuju Kesadaran Ekologis, Salah satu RW yang telah berhasil mendirikan tempat pemberdayaan sampah sendiri menjadi teladan bagi yang lainnya. Menurut pandangan Latour, praktek pemberdayaan sampah ini adalah contoh nyata dari agensi non-manusia yang memengaruhi dan membentuk interaksi sosial. Tempat pemberdayaan sampah bukan hanya infrastruktur fisik, tetapi juga aktor dalam jaringan sosial-ekologis yang mendorong perubahan perilaku dan kesadaran lingkungan. Mahasiswa, dengan demikian, berperan sebagai mediator yang menghubungkan masyarakat dengan teknologi dan praktik ramah lingkungan, menciptakan simbiosis antara manusia dan alam yang lebih harmonis.

Antara jangkauan dan tindakan Di satu sisi, idealisme mahasiswa yang datang dengan harapan tinggi untuk memberdayakan masyarakat dan melestarikan kebudayaan sering kali dihadapkan pada realita yang penuh tantangan. Dalam pemikiran Camus, perjuangan ini adalah bentuk dari absurditas kehidupan di mana harapan dan kenyataan sering kali tidak sejalan. Namun, justru dalam absurditas inilah makna sejati pengabdian ditemukan. Mahasiswa belajar bahwa perubahan sosial bukanlah hasil dari tindakan heroik tunggal, tetapi proses yang berkelanjutan dan kolektif.


KKN dan Fragmentasi Pengalaman Sosial

Program KKN di Dusun Tiga, Desa Wangi Sagara, haruslah dimaknai bukan hanya sekadar pengabdian, melainkan sebuah upaya untuk menguraikan dan merajut kembali fragmen-fragmen pengalaman sosial yang tersebar di berbagai sektor kehidupan. Dalam konteks ini, mahasiswa dihadapkan pada tanggung jawab penuh untuk mengintegrasikan dan memelihara sektor-sektor seperti pendidikan, kebudayaan, kesehatan, kepemudaan, keekonomian, lingkungan, dan kemasyarakatan. Setiap sektor memerlukan pendekatan yang teliti dan mendalam, yang mencerminkan kompleksitas dan dinamika yang ada.

Pendidikan Membuka Jendela Pengetahuan, Mahasiswa yang terlibat dalam sektor pendidikan berperan sebagai penghubung antara tradisi pengetahuan lokal dan wawasan global. Dengan pendekatan dialogis ala Paulo Freire, proses pendidikan di sini melampaui transfer pengetahuan menjadi sebuah dialog kritis yang membangkitkan kesadaran dan emansipasi. Mahasiswa membantu masyarakat untuk tidak hanya mengakses pengetahuan tetapi juga menginterpretasikannya dalam konteks mereka sendiri, sehingga terbentuk sebuah masyarakat yang tercerahkan dan otonom.

Kebudayaan Melestarikan dan Menghidupkan Tradisi, Sektor kebudayaan adalah jantung dari identitas masyarakat Dusun Tiga. Mahasiswa berperan sebagai mediator yang menghidupkan kembali tradisi melalui lensa hermeneutik Gadamer. Tradisi seperti pembuatan wacil dan alat musik tradisional diinterpretasikan kembali dalam konteks modern tanpa kehilangan esensinya. Melalui program-program kreatif, mahasiswa membantu menjaga warisan budaya sekaligus memperkenalkan inovasi yang relevan dengan zaman.

Kesehatan Membangun Kesadaran Kesehatan Holistik, Dalam bidang kesehatan, tanggung jawab mahasiswa meliputi edukasi kesehatan dan peningkatan akses layanan kesehatan. Melalui pandangan Michel Foucault tentang biopolitik, mahasiswa melihat kesehatan sebagai konstruksi sosial yang dipengaruhi oleh berbagai praktik dan wacana. Mereka berperan dalam membangun kesadaran kesehatan holistik yang melibatkan pencegahan, promosi gaya hidup sehat, dan peningkatan akses layanan kesehatan yang berkelanjutan.

Kepemudaan Menyiapkan Generasi Masa Depan, Sektor kepemudaan menuntut mahasiswa untuk membentuk generasi muda yang tangguh dan visioner. Dengan inspirasi dari eksistensialisme Sartre, mahasiswa mengajarkan pemuda untuk mengakui kebebasan dan tanggung jawab mereka. Kegiatan yang dirancang berfokus pada pengembangan keterampilan, peningkatan partisipasi sosial, dan pemberdayaan diri, memastikan bahwa kaum muda menjadi agen perubahan yang aktif dalam komunitas mereka.

Keekonomian Menuju Kemandirian Ekonomi, Dalam bidang ekonomi, mahasiswa membantu masyarakat mengembangkan kapasitas ekonomi yang berkelanjutan. Menggunakan analisis ekonomi komunitas, mereka mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan ekonomi lokal, serta peluang dan ancaman yang ada. Melalui program pelatihan dan dukungan permodalan, mahasiswa membantu masyarakat untuk menciptakan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang mandiri dan berdaya saing.

Lingkungan Menjaga Keselarasan dengan Alam, Dalam sektor lingkungan, mahasiswa mengadopsi pandangan Bruno Latour tentang agensi non-manusia untuk memahami interaksi antara manusia dan lingkungan. Program pemberdayaan sampah yang sudah ada menjadi model yang diperluas ke seluruh dusun. Mahasiswa mendorong kesadaran ekologis melalui praktik ramah lingkungan, seperti pengelolaan sampah, pelestarian sumber daya alam, dan penggunaan teknologi hijau, yang semuanya bertujuan untuk menciptakan keselarasan antara masyarakat dan alam.

Kemasyarakatan Membangun Solidaritas dan Kemandirian, Mahasiswa yang bekerja di sektor kemasyarakatan mendorong integrasi sosial dan kemandirian komunitas. Melalui perspektif Durkheimian, mereka mengembangkan program-program yang memperkuat ikatan sosial dan meningkatkan partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan. Ini termasuk kegiatan gotong royong, dialog antarwarga, dan pengembangan inisiatif lokal yang mempromosikan solidaritas dan kemandirian.

Pemetaan Sosial dan Konseptualisasi Strategis, Langkah pertama dalam mengatasi kompleksitas Dusun Tiga adalah melakukan pemetaan sosial yang komprehensif. Dengan metode analisis kritis, mahasiswa mengidentifikasi dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang ada. Hasil pemetaan ini digunakan untuk merumuskan konsep strategis yang mencakup perencanaan program kerja yang terintegrasi dan holistik, memastikan setiap sektor mendapatkan perhatian dan intervensi yang sesuai.

Implementasi Program Kerja dan Evaluasi, Dalam implementasi program kerja, mahasiswa mengadopsi pendekatan pragmatis yang fleksibel dan responsif terhadap perubahan kondisi di lapangan. Program-program dirancang untuk melibatkan partisipasi aktif masyarakat dan keterlibatan stakeholder lokal. Evaluasi berkala dilakukan untuk menilai efektivitas program, dengan menggunakan metode evaluasi partisipatif yang melibatkan masyarakat dalam proses penilaian dan refleksi.

Refleksi dan Pembelajaran Berkelanjutan, Refleksi merupakan bagian integral dari proses pengabdian, di mana mahasiswa dan masyarakat bersama-sama mengevaluasi pencapaian, tantangan, dan pelajaran yang diperoleh selama pelaksanaan program. Pendekatan reflektif yang mendalam memungkinkan mahasiswa untuk menginternalisasi pengalaman mereka, memahami dinamika sosial yang kompleks, dan mengembangkan keterampilan serta pengetahuan yang diperlukan untuk pengabdian yang lebih efektif di masa depan.


Hipotesis

KKN di Dusun Tiga, Desa Wangi Sagara, merupakan sebuah mosaik yang menggabungkan berbagai sektor kehidupan menjadi satu kesatuan yang harmonis. Mahasiswa, sebagai agen perubahan, menjalani perjalanan yang penuh dengan tanggung jawab dan komitmen untuk mendukung pendidikan, melestarikan kebudayaan, meningkatkan kesehatan, memberdayakan pemuda, memperkuat ekonomi, menjaga lingkungan, dan membangun solidaritas sosial.

Dalam sektor pendidikan, haruslah mengangkat semangat kritis dan dialogis, membuka jendela pengetahuan yang memperkuat otonomi masyarakat. Di bidang kebudayaan, mereka menjadi jembatan yang menghubungkan tradisi dengan inovasi, menjaga agar warisan budaya tetap relevan dalam konteks modern. Di sektor kesehatan, mereka menggugah kesadaran masyarakat akan pentingnya kesehatan holistik, sementara dalam kepemudaan, mereka menanamkan nilai-nilai kebebasan dan tanggung jawab, mempersiapkan generasi masa depan yang tangguh.

Di bidang ekonomi, perlulah untuk membantu menciptakan kemandirian melalui pengembangan UMKM yang berdaya saing. Dalam sektor lingkungan, mereka mengajarkan harmoni antara manusia dan alam, menerapkan praktik-praktik yang berkelanjutan. Di ranah kemasyarakatan, mereka memperkuat ikatan sosial melalui inisiatif yang mempromosikan solidaritas dan kemandirian komunitas.

Pemetaan sosial yang komprehensif dan perumusan konsep strategis yang holistik menjadi landasan bagi intervensi yang efektif dan berkelanjutan. Implementasi program kerja yang fleksibel dan responsif, serta evaluasi partisipatif, memastikan bahwa setiap langkah yang diambil sesuai dengan dinamika lokal dan kebutuhan masyarakat.

Refleksi yang mendalam atas setiap pengalaman dan pencapaian memungkinkan mahasiswa untuk memahami lebih dalam kompleksitas sosial, menginternalisasi pelajaran yang berharga, dan mengembangkan keterampilan yang diperlukan untuk pengabdian yang lebih bermakna di masa depan.


Daftar Pustaka

 Studi Observasi:

·         Wawancara Kepala Desa & Sekertaris Desa

·         Wawancara Kepala Dusun

·         Wawancara Kepala Rukun Warga (RW); 8,9,10,11 & 14

·         Wawancara Karang Taruna Sektor RW

·         Wawancara Ranting Pemuda Pancasila (PP) Wangisagara

Studi Litelatue:

·         Freire, Paulo. Pendidikan Kaum Tertindas. Jakarta: LP3ES, 2008.

·         Gadamer, Hans-Georg. Kebenaran dan Metode. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

·   Foucault, Michel. Kelahiran Klinik: Sebuah Arkeologi Pandangan Medis. Yogyakarta: IRCiSoD, 2017.

·   Sartre, Jean-Paul. Eksistensialisme Adalah Humanisme. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2010.

·         Durkheim, Emile. Pembagian Kerja dalam Masyarakat. Jakarta: Kencana, 2008.

·         Latour, Bruno. Kami Tidak Pernah Modern. Bandung: Mizan, 2012.

·         Bourdieu, Pierre. Outline of a Theory of Practice. Yogyakarta: IRCiSoD, 2018.

·   Sen, Amartya. Pembangunan sebagai Kebebasan. Jakarta: KPG (Kepustakaan Populer Gramedia), 2005.

·         Geertz, Clifford. Penafsiran Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius, 1992.

·      Putnam, Robert D. Bowling Alone: Runtuh dan Bangkitnya Komunitas Amerika. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002.

·     Benedict, Ruth. The Chrysanthemum and the Sword: Pola-Pola Kebudayaan Jepang. Jakarta: Dian Rakyat, 1994.

·   Anderson, Benedict. Komunitas-Komunitas Terbayang: Refleksi tentang Asal Usul dan Penyebaran Nasionalisme. Yogyakarta: INSISTPress, 2008.

·      Giddens, Anthony. The Consequences of Modernity: Konsekuensi-Konsekuensi Modernitas. Jakarta: Pustaka Pelajar, 2000.

·   Habermas, Jürgen. Ruang Publik: Sebuah Kajian Tentang Kategori Masyarakat Borjuis. Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2006.

·         Levi-Strauss, Claude. Strukturalisme dan Ekologi Kebudayaan. Yogyakarta: LKiS, 2012.

·         Kalo kurang, tanyain saja sama yang nulis






Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukunya Tak Pernah Dibaca

Elegi Berserakan

Rumusan Kolektif dan Perdebatan yang Persuasif dalam Ijtihad Jama’i

Sumpah Hukum di Pelataran Etika

Questions Without Answers

Fanatisme Islam & Truth Claim seputar "Al fikroh al Najiyah"

Privasi Era Digital Milik Siapa Data Kita

Martin Luther King dan Gerakan Hak Sipil

Positivisme Logis Ludwig Wittgenstein: dalam Pengembangan Logika dan Bahasa