Rumusan Kolektif dan Perdebatan yang Persuasif dalam Ijtihad Jama’i
“Proses ijtima’ yang
didasarkan pada maqashid syariah dan maslahah namun seringkali terfragmen
pada perbedaan mashadir hingga memicu perdebatan tanpa dasar
yang muktamat”
Ijtihad (اجتهاد) adalah suatu proses metodis dalam Islam yang melibatkan usaha seorang ulama atau kelompok ulama untuk menggali hukum-hukum syariat dari sumber-sumber primer, seperti Al-Qur'an dan Hadis, ketika ketiadaan petunjuk eksplisit atas suatu masalah tertentu. Proses ijtihad memerlukan pemahaman mendalam atas bahasa Arab klasik, konteks teks, serta kompetensi dalam menggunakan metode yang sahih untuk memperoleh kesimpulan hukum. Dalam konteks sejarah hukum Islam, ijtihad adalah proses yang mengaktifkan kemampuan intelektual dan spiritual untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan maqasid syariah (مقاصد الشريعة) atau tujuan utama dari hukum Islam.
Jama’i (جماعي) berarti "kolektif" atau "berjamaah", yang dalam konteks hukum Islam berarti melibatkan partisipasi sejumlah ulama yang berkompeten dalam suatu musyawarah atau diskusi yang komprehensif. Proses kolektif ini dilakukan demi memastikan keputusan yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan pendapat individual semata, melainkan hasil dari pandangan bersama yang mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan keilmuan. Prinsip jama’i sangat penting karena membawa aspek kehati-hatian dan keseimbangan, dengan tujuan agar setiap keputusan memiliki legitimasi yang kuat di mata umat.
Ijtihad Jama’i (اجتهاد جماعي) adalah suatu proses ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh sekelompok ulama, yang bersama-sama berdiskusi dan menganalisis berbagai aspek dari suatu permasalahan hukum. Ijtihad jama’i biasanya dilaksanakan dalam konteks isu-isu kontemporer yang kompleks, di mana membutuhkan kebijaksanaan dari berbagai disiplin ilmu atau sudut pandang yang komprehensif. Dalam ijtihad jama’i, keputusan atau fatwa yang dihasilkan dianggap lebih mewakili konsensus dan lebih dapat diterima oleh masyarakat luas karena mempertimbangkan spektrum pemikiran dan kebijaksanaan yang luas. Proses ini bukan hanya melibatkan pencarian kebenaran melalui logika dan metodologi ilmiah, tetapi juga memiliki sifat persuasif, di mana keputusan tersebut disampaikan dengan cara yang dapat diterima dan diyakini oleh umat Islam secara luas.
Ijtihad (اجتهاد) adalah suatu proses metodis dalam Islam yang melibatkan usaha seorang ulama atau kelompok ulama untuk menggali hukum-hukum syariat dari sumber-sumber primer, seperti Al-Qur'an dan Hadis, ketika ketiadaan petunjuk eksplisit atas suatu masalah tertentu. Proses ijtihad memerlukan pemahaman mendalam atas bahasa Arab klasik, konteks teks, serta kompetensi dalam menggunakan metode yang sahih untuk memperoleh kesimpulan hukum. Dalam konteks sejarah hukum Islam, ijtihad adalah proses yang mengaktifkan kemampuan intelektual dan spiritual untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan maqasid syariah (مقاصد الشريعة) atau tujuan utama dari hukum Islam.
Jama’i (جماعي) berarti "kolektif" atau "berjamaah", yang dalam konteks hukum Islam berarti melibatkan partisipasi sejumlah ulama yang berkompeten dalam suatu musyawarah atau diskusi yang komprehensif. Proses kolektif ini dilakukan demi memastikan keputusan yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan pendapat individual semata, melainkan hasil dari pandangan bersama yang mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan keilmuan. Prinsip jama’i sangat penting karena membawa aspek kehati-hatian dan keseimbangan, dengan tujuan agar setiap keputusan memiliki legitimasi yang kuat di mata umat.
Ijtihad Jama’i (اجتهاد جماعي) adalah suatu proses ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh sekelompok ulama, yang bersama-sama berdiskusi dan menganalisis berbagai aspek dari suatu permasalahan hukum. Ijtihad jama’i biasanya dilaksanakan dalam konteks isu-isu kontemporer yang kompleks, di mana membutuhkan kebijaksanaan dari berbagai disiplin ilmu atau sudut pandang yang komprehensif. Dalam ijtihad jama’i, keputusan atau fatwa yang dihasilkan dianggap lebih mewakili konsensus dan lebih dapat diterima oleh masyarakat luas karena mempertimbangkan spektrum pemikiran dan kebijaksanaan yang luas. Proses ini bukan hanya melibatkan pencarian kebenaran melalui logika dan metodologi ilmiah, tetapi juga memiliki sifat persuasif, di mana keputusan tersebut disampaikan dengan cara yang dapat diterima dan diyakini oleh umat Islam secara luas.
Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendalami bagaimana rumusan-rumusan kolektif tersebut terbentuk melalui mekanisme perdebatan yang persuasif dalam ijtihad jama’i, serta bagaimana metode ini dapat menjawab tantangan-tantangan hukum Islam yang muncul seiring perkembangan zaman.
Pendalaman Ijtihad Jama’i dalam Perspektif Ushul Fiqh dan Fiqh memiliki kedudukan yang penting dalam sistem hukum Islam, baik dalam perspektif ushul fiqh (prinsip-prinsip dasar fiqh) maupun fiqh (ilmu hukum Islam itu sendiri). Secara metodologis, ijtihad jama’i merujuk pada usaha kolektif para ulama atau cendekiawan Muslim dalam merumuskan hukum berdasarkan sumber-sumber Islam dengan mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas. Dalam kerangka ini, ijtihad jama’i bukan hanya sebuah proses individual, tetapi juga berbasis pada konsensus atau musyawarah kelompok, sehingga dapat dijadikan referensi hukum yang lebih praktis dan responsif terhadap kebutuhan umat. Dalam ushul fiqh, ijtihad jama’i dianggap sebagai suatu bentuk deduksi hukum yang bersifat kolektif dan melibatkan para ahli fiqh untuk mengidentifikasi solusi atas persoalan-persoalan hukum yang belum memiliki ketentuan langsung dalam nash (teks) al-Qur'an dan hadits. Ushul fiqh secara umum menekankan pentingnya ijtihad untuk menggali hukum dari sumber-sumber primer Islam, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma’ (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).
Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama-ulama.” (QS. Fatir: 28)
Ayat ini menegaskan pentingnya peran ulama sebagai ahli ilmu dalam memahami dan menginterpretasi hukum Allah, yang juga berlaku dalam konteks ijtihad jama’i. Para ulama diharapkan untuk bekerjasama dalam menetapkan hukum-hukum yang relevan dalam kondisi tertentu, seperti yang dilakukan dalam ijtihad jama’i.
إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ
Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi)
Hadits ini menunjukkan
bahwa musyawarah dan kesepakatan ulama (ijtihad jama’i) akan mengarah pada
kebenaran, karena umat Islam tidak akan sepakat dalam kesesatan. Oleh karena
itu, dalam ijtihad jama’i, meskipun ada perbedaan pendapat, hasil akhirnya
adalah keputusan yang berlandaskan kebenaran yang dapat diterima oleh mayoritas
umat.
وَمَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ أَمْرٌ فِي شَرْعِه
“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. an-Nisa: 64)
لَا يَجْمَعُ قَوْمٌ فِي الْحَقِّ فِي مَسْأَلَةٍ إِلَّا رَأَوْا الصَّوَابَ
‘Tidaklah sekelompok orang berkumpul dalam satu masalah kecuali mereka akan melihat kebenaran.” (HR. al-Tabrani)
Hadits ini menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan hukum yang bersifat kolektif, di mana dalam ijtihad jama’i, para ulama yang berkumpul akan mencari solusi yang benar dengan pendekatan kolektif dan mendalam.
Penulisan Mushaf Al-Qur'an pada Masa Khalifah Utsman bin Affan umat Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah, dan terjadi perbedaan bacaan Al-Qur'an yang berpotensi menimbulkan konflik. Situasi ini memerlukan penanganan untuk menjaga kesatuan umat dan keutuhan bacaan Al-Qur'an. Khalifah Utsman bin Affan memprakarsai penyusunan Mushaf yang seragam dengan mengumpulkan para penghafal dan penulis Al-Qur'an, termasuk Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'b, dan Abdullah bin Mas'ud. Mereka berdiskusi dan memutuskan standar bacaan yang harus diikuti seluruh umat Muslim, berdasarkan bacaan yang diajarkan langsung oleh Nabi. Mushaf hasil ijtihad ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani menjadi standar bacaan Al-Qur'an yang seragam dan diakui hingga sekarang, mencegah perpecahan di kalangan umat Muslim dan menjadi pedoman hingga kini. Khalifah Utsman bin Affan menjadi pelopor ijtihad ini dengan bijaksana, menunjukkan komitmen terhadap persatuan umat dan menjaga kemurnian Al-Qur'an. Namun disisi lin beberapa hasil rumusan pada masa kontemporer, berikut beberapa putusan yang di jadikan sample pada tulisan ini;
Pembayaran Zakat Fitrah dengan Uang di Masa Modern pada masa klasik, zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok. Namun, pada masa modern, penyerahan zakat dalam bentuk uang dianggap lebih praktis dan efisien dalam distribusi. Para ulama dari berbagai organisasi Islam modern berkumpul untuk mendiskusikan kebolehan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, dengan mempertimbangkan kemudahan dalam distribusi dan maslahat bagi penerima zakat. Keputusan kolektif mengizinkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, menjawab kebutuhan masyarakat Muslim modern yang memerlukan fleksibilitas dalam pelaksanaan zakat.
Ketika era kolonial Belanda, peran hukum Islam lebih banyak ditahan, dan pembentukan hukum didominasi oleh penguasa kolonial. Namun, setelah kemerdekaan, muncul inisiatif untuk merumuskan kembali hukum-hukum yang sesuai dengan kebutuhan umat Muslim Indonesia. Dibentuknya Kementerian Agama pada tahun 1946 menjadi salah satu tonggak sejarah penting dalam penerapan hukum Islam yang didasarkan pada prinsip ijtihad jama’i di tingkat nasional, termasuk pembentukan lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfasilitasi musyawarah hukum Islam.
Perumusan Hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan contoh nyata dari ijtihad jama’i yang dirumuskan untuk menciptakan keseragaman dalam penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1991, KHI merangkum aturan-aturan tentang pernikahan, perceraian, dan warisan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia. KHI ini disusun melalui musyawarah para ulama, akademisi, dan praktisi hukum dengan dukungan dari pemerintah, sehingga menjadi bentuk nyata ijtihad kolektif dalam mengkodifikasi hukum Islam.
Metodologi dalam Perumusan KHI melalui pendekatan kolektif dengan mempertimbangkan kebijakan syariah yang sesuai dengan realitas sosial di Indonesia. Dalam penyusunannya, KHI berusaha mengakomodasi prinsip-prinsip Islam yang bersifat universal sekaligus relevan dengan adat dan budaya Indonesia. Misalnya, dalam hal waris, KHI mempertimbangkan berbagai kondisi sosial-ekonomi keluarga Indonesia sehingga mengizinkan adaptasi dalam pembagian harta warisan berdasarkan maslahat.
Dinamika Ijtihad Jama’i di Indonesia dalam Era Kontemporer di Indonesia semakin berkembang dengan hadirnya lembaga-lembaga lain seperti Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). BPJPH mengawasi sertifikasi halal yang dahulu berada di bawah MUI, sementara DSN fokus pada pengembangan ekonomi syariah, termasuk perbankan, asuransi, dan investasi. DSN-MUI mengeluarkan fatwa terkait sistem perbankan dan investasi syariah, yang melarang praktik-praktik yang mengandung riba, gharar, dan maysir. Ini dilakukan dengan melibatkan pakar ekonomi, bankir, dan ulama syariah dalam proses ijtihad jama’i. Zakat Kontemporer Beberapa ulama Indonesia, melalui forum musyawarah seperti Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), melakukan ijtihad jama’i untuk memperluas cakupan zakat, termasuk zakat profesi dan zakat perusahaan. Perumusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan umat Islam modern dan mengikuti perkembangan sistem keuangan kontemporer.
Dasar utama dalam merumuskan hukum Islam yang relevan dan aplikatif bagi masyarakat modern. Pendekatan historis menunjukkan bahwa proses ini sudah berlangsung sejak masa kerajaan Islam, terus berkembang di era kolonial, dan semakin terstruktur pascakemerdekaan. Dengan lembaga-lembaga seperti MUI, DSN, dan BPJPH, ijtihad jama’i terus berperan penting dalam menjawab isu-isu kontemporer di Indonesia, mulai dari persoalan halal hingga ekonomi syariah. Realitas ini menegaskan bahwa Indonesia telah menerapkan ijtihad jama’i sebagai pendekatan hukum Islam yang adaptif dan berwawasan maslahat bagi kepentingan umat di tengah dinamika kehidupan modern. Meskipun ijtihad jama’i telah terbukti menjadi instrumen penting dalam merumuskan kebijakan hukum Islam yang responsif terhadap perkembangan zaman di Indonesia, ia juga tidak terlepas dari berbagai kritik dan tantangan.
Kritik ini sering kali muncul terutama ketika fatwa yang dikeluarkan lebih mencerminkan kepentingan politik atau sosial dari kelompok tertentu daripada kebutuhan umat secara keseluruhan. Dalam hal ini, proses ijtihad jama’i yang idealnya mencerminkan keragaman pemikiran dan kebutuhan umat, malah cenderung memperkuat hegemoni tertentu, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketidakadilan dalam penerapan hukum Islam.
Kurangnya Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Ijtihad sering kali dilaksanakan dalam ruang yang terbatas, hanya melibatkan ulama, akademisi, dan lembaga-lembaga tertentu yang dianggap memiliki otoritas. Padahal, masyarakat Muslim Indonesia memiliki berbagai pandangan yang beragam, baik dari segi pendidikan, ekonomi, maupun budaya. Beberapa kritik terhadap ijtihad jama’i di Indonesia berkaitan dengan kurangnya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses ini, terutama dalam hal-hak-hak mereka yang langsung terkena dampak dari keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan dalam kasus fatwa tentang pernikahan, cerai, atau hak waris, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh para ulama cenderung lebih berbasis pada prinsip-prinsip yang diterima oleh kalangan tertentu saja, sementara suara masyarakat dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda jarang mendapat perhatian. Padahal, ijtihad jama’i yang ideal adalah ijtihad yang bersifat inklusif dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, sehingga keputusan yang dihasilkan lebih mencerminkan kebutuhan praktis dan aspirasi umat secara lebih luas.
Keterbatasan Perspektif dalam ijtihad Jama’i sering kali terbatas pada pendekatan fiqh yang sudah mapan tanpa memasukkan dimensi-dimensi baru seperti filsafat hukum Islam, etika, dan hak asasi manusia yang semakin relevan dalam dunia kontemporer. Sebagai contoh, dalam membahas isu-isu sosial dan ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, atau kesenjangan sosial, ijtihad jama’i di Indonesia cenderung lebih fokus pada aspek teknis hukum, seperti kewajiban zakat dan infak, tanpa memperhatikan faktor-faktor struktural yang menyebabkan masalah-masalah sosial tersebut. Hal ini mengarah pada kritik bahwa ijtihad jama’i di Indonesia sering kali terlalu pragmatis dan tidak cukup reflektif terhadap perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat, serta terbatas pada teks-teks agama klasik yang lebih relevan untuk konteks zamannya. Kritik terhadap ijtihad jama’i di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun proses ini sangat penting dalam merumuskan hukum Islam yang relevan dan aplikatif di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi, ia tetap menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan. Dari ketidak-konsistenan dalam pengambilan keputusan, dominasi kelompok tertentu, keterbatasan perspektif, hingga pengaruh politik yang kuat, semua ini menunjukkan bahwa ijtihad jama’i harus terus diperbaharui dan disesuaikan dengan kondisi zaman. Oleh karena itu, penting bagi ijtihad jama’i untuk melibatkan partisipasi lebih luas dari masyarakat dan terus mengembangkan metodologi yang lebih inklusif, progresif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.
Kesimpulan & Hipotesis
Hipotesis I, Ijtihad jama’i, sebagai metode pengambilan keputusan hukum secara kolektif, dapat menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi permasalahan hukum kontemporer yang tidak memiliki ketentuan langsung dalam nash.
Hipotesis II, Penerapan ijtihad jama’i di Indonesia, terutama dalam konteks hukum Islam, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan hukum yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan umat, meskipun terdapat tantangan dalam hal kesepakatan antara para ulama yang berbeda pandangan.
Hipotesis III, Implementasi ijtihad jama’i dapat memperkuat kesatuan dan kemajuan umat Islam, jika dilakukan dengan memperhatikan maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah) dan maslahat (kemaslahatan) umat, dengan menggunakan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Dengan demikian, ijtihad jama’i memiliki potensi untuk merumuskan hukum yang lebih relevan dengan tantangan zaman, namun membutuhkan proses yang mendalam dan partisipasi ulama yang terus memperbaharui wawasan mereka terhadap realitas sosial yang berkembang.
Referensi:
Komentar
Posting Komentar