Rumusan Kolektif dan Perdebatan yang Persuasif dalam Ijtihad Jama’i


Proses ijtima’ yang didasarkan pada maqashid syariah dan maslahah
 namun seringkali terfragmen pada perbedaan mashadir hingga memicu perdebatan tanpa dasar yang muktamat

Ijtihad (اجتهاد) adalah suatu proses metodis dalam Islam yang melibatkan usaha seorang ulama atau kelompok ulama untuk menggali hukum-hukum syariat dari sumber-sumber primer, seperti Al-Qur'an dan Hadis, ketika ketiadaan petunjuk eksplisit atas suatu masalah tertentu. Proses ijtihad memerlukan pemahaman mendalam atas bahasa Arab klasik, konteks teks, serta kompetensi dalam menggunakan metode yang sahih untuk memperoleh kesimpulan hukum. Dalam konteks sejarah hukum Islam, ijtihad adalah proses yang mengaktifkan kemampuan intelektual dan spiritual untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan maqasid syariah (مقاصد الشريعة) atau tujuan utama dari hukum Islam.

Jama’i (جماعي) berarti "kolektif" atau "berjamaah", yang dalam konteks hukum Islam berarti melibatkan partisipasi sejumlah ulama yang berkompeten dalam suatu musyawarah atau diskusi yang komprehensif. Proses kolektif ini dilakukan demi memastikan keputusan yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan pendapat individual semata, melainkan hasil dari pandangan bersama yang mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan keilmuan. Prinsip jama’i sangat penting karena membawa aspek kehati-hatian dan keseimbangan, dengan tujuan agar setiap keputusan memiliki legitimasi yang kuat di mata umat.

Ijtihad Jama’i (اجتهاد جماعي) adalah suatu proses ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh sekelompok ulama, yang bersama-sama berdiskusi dan menganalisis berbagai aspek dari suatu permasalahan hukum. Ijtihad jama’i biasanya dilaksanakan dalam konteks isu-isu kontemporer yang kompleks, di mana membutuhkan kebijaksanaan dari berbagai disiplin ilmu atau sudut pandang yang komprehensif. Dalam ijtihad jama’i, keputusan atau fatwa yang dihasilkan dianggap lebih mewakili konsensus dan lebih dapat diterima oleh masyarakat luas karena mempertimbangkan spektrum pemikiran dan kebijaksanaan yang luas. Proses ini bukan hanya melibatkan pencarian kebenaran melalui logika dan metodologi ilmiah, tetapi juga memiliki sifat persuasif, di mana keputusan tersebut disampaikan dengan cara yang dapat diterima dan diyakini oleh umat Islam secara luas.

Ijtihad (اجتهاد) adalah suatu proses metodis dalam Islam yang melibatkan usaha seorang ulama atau kelompok ulama untuk menggali hukum-hukum syariat dari sumber-sumber primer, seperti Al-Qur'an dan Hadis, ketika ketiadaan petunjuk eksplisit atas suatu masalah tertentu. Proses ijtihad memerlukan pemahaman mendalam atas bahasa Arab klasik, konteks teks, serta kompetensi dalam menggunakan metode yang sahih untuk memperoleh kesimpulan hukum. Dalam konteks sejarah hukum Islam, ijtihad adalah proses yang mengaktifkan kemampuan intelektual dan spiritual untuk mencari keadilan dan kebenaran sesuai dengan maqasid syariah (مقاصد الشريعة) atau tujuan utama dari hukum Islam.

Jama’i (جماعي) berarti "kolektif" atau "berjamaah", yang dalam konteks hukum Islam berarti melibatkan partisipasi sejumlah ulama yang berkompeten dalam suatu musyawarah atau diskusi yang komprehensif. Proses kolektif ini dilakukan demi memastikan keputusan yang dihasilkan tidak hanya berdasarkan pendapat individual semata, melainkan hasil dari pandangan bersama yang mempertimbangkan berbagai sudut pandang dan keilmuan. Prinsip jama’i sangat penting karena membawa aspek kehati-hatian dan keseimbangan, dengan tujuan agar setiap keputusan memiliki legitimasi yang kuat di mata umat.

Ijtihad Jama’i (اجتهاد جماعي) adalah suatu proses ijtihad yang dilakukan secara kolektif oleh sekelompok ulama, yang bersama-sama berdiskusi dan menganalisis berbagai aspek dari suatu permasalahan hukum. Ijtihad jama’i biasanya dilaksanakan dalam konteks isu-isu kontemporer yang kompleks, di mana membutuhkan kebijaksanaan dari berbagai disiplin ilmu atau sudut pandang yang komprehensif. Dalam ijtihad jama’i, keputusan atau fatwa yang dihasilkan dianggap lebih mewakili konsensus dan lebih dapat diterima oleh masyarakat luas karena mempertimbangkan spektrum pemikiran dan kebijaksanaan yang luas. Proses ini bukan hanya melibatkan pencarian kebenaran melalui logika dan metodologi ilmiah, tetapi juga memiliki sifat persuasif, di mana keputusan tersebut disampaikan dengan cara yang dapat diterima dan diyakini oleh umat Islam secara luas.

Dengan demikian, penelitian ini bertujuan untuk mendalami bagaimana rumusan-rumusan kolektif tersebut terbentuk melalui mekanisme perdebatan yang persuasif dalam ijtihad jama’i, serta bagaimana metode ini dapat menjawab tantangan-tantangan hukum Islam yang muncul seiring perkembangan zaman.

Pendalaman Ijtihad Jama’i dalam Perspektif Ushul Fiqh dan Fiqh memiliki kedudukan yang penting dalam sistem hukum Islam, baik dalam perspektif ushul fiqh (prinsip-prinsip dasar fiqh) maupun fiqh (ilmu hukum Islam itu sendiri). Secara metodologis, ijtihad jama’i merujuk pada usaha kolektif para ulama atau cendekiawan Muslim dalam merumuskan hukum berdasarkan sumber-sumber Islam dengan mempertimbangkan konteks sosial yang lebih luas. Dalam kerangka ini, ijtihad jama’i bukan hanya sebuah proses individual, tetapi juga berbasis pada konsensus atau musyawarah kelompok, sehingga dapat dijadikan referensi hukum yang lebih praktis dan responsif terhadap kebutuhan umat.  Dalam ushul fiqh, ijtihad jama’i dianggap sebagai suatu bentuk deduksi hukum yang bersifat kolektif dan melibatkan para ahli fiqh untuk mengidentifikasi solusi atas persoalan-persoalan hukum yang belum memiliki ketentuan langsung dalam nash (teks) al-Qur'an dan hadits. Ushul fiqh secara umum menekankan pentingnya ijtihad untuk menggali hukum dari sumber-sumber primer Islam, yaitu al-Qur’an, hadits, ijma’ (kesepakatan ulama), dan qiyas (analogi).


إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ
مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ

Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya adalah ulama-ulama.” (QS. Fatir: 28)

Ayat ini menegaskan pentingnya peran ulama sebagai ahli ilmu dalam memahami dan menginterpretasi hukum Allah, yang juga berlaku dalam konteks ijtihad jama’i. Para ulama diharapkan untuk bekerjasama dalam menetapkan hukum-hukum yang relevan dalam kondisi tertentu, seperti yang dilakukan dalam ijtihad jama’i.

إِنَّ اللَّهَ لَا يَجْمَعُ أُمَّتِي عَلَى ضَلاَلَةٍ

Sesungguhnya Allah tidak akan mengumpulkan umatku atas kesesatan.” (HR. Tirmidzi)

Hadits ini menunjukkan bahwa musyawarah dan kesepakatan ulama (ijtihad jama’i) akan mengarah pada kebenaran, karena umat Islam tidak akan sepakat dalam kesesatan. Oleh karena itu, dalam ijtihad jama’i, meskipun ada perbedaan pendapat, hasil akhirnya adalah keputusan yang berlandaskan kebenaran yang dapat diterima oleh mayoritas umat.

Ijma’ (Kesepakatan
Ulama):

 

وَمَا أَجْمَعَ عَلَيْهِ أَمْرٌ فِي شَرْعِه

“Apa yang disepakati oleh umat pada perintah-Nya, itulah yang benar.”
ijma’ adalah salah
satu sumber hukum yang penting. Ijtihad jama’i sejalan dengan prinsip ijma’,
karena ia melibatkan kesepakatan para ulama untuk merumuskan suatu hukum
berdasarkan ijtihad jama’i juga dipandang sebagai metode untuk menyesuaikan hukum Islam dengan kebutuhan zaman, dengan merujuk pada dalil-dalil yang sudah ada dalam al-Qur'an dan hadits. Hukum yang dihasilkan dari ijtihad jama’i tidak hanya bersifat fiqhiyah, tetapi juga mencakup nilai-nilai kemaslahatan umat. Fiqh, sebagai ilmu yang berkembang seiring zaman, membutuhkan ijtihad yang responsif terhadap konteks sosial-ekonomi dan politik yang ada.


وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ
رَسُولٍ إِلَّا لِيُطَاعَ بِإِذْنِ اللَّهِ

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun, melainkan untuk ditaati dengan izin Allah.” (QS. an-Nisa: 64)

Menunjukkan bahwa umat Islam harus taat pada keputusan-keputusan yang diambil oleh para pemimpin atau ulama yang memiliki otoritas untuk memberi keputusan hukum. Ijtihad jama’i menjadi saluran bagi para ulama untuk memberikan fatwa yang sesuai dengan kebutuhan zaman.


لَا يَجْمَعُ قَوْمٌ فِي الْحَقِّ فِي مَسْأَلَةٍ إِلَّا رَأَوْا الصَّوَابَ

Tidaklah sekelompok orang berkumpul dalam satu masalah kecuali mereka akan melihat kebenaran.” (HR. al-Tabrani)

Hadits ini menekankan pentingnya musyawarah dalam pengambilan keputusan hukum yang bersifat kolektif, di mana dalam ijtihad jama’i, para ulama yang berkumpul akan mencari solusi yang benar dengan pendekatan kolektif dan mendalam.

Khalifah Umar memprakarsai ijtihad jama’i dengan melibatkan para sahabat untuk menentukan kalender yang dapat menjadi patokan umat Islam. Dalam diskusi, muncul usulan untuk menjadikan kelahiran atau wafatnya Nabi sebagai awal perhitungan, namun para sahabat akhirnya sepakat memilih peristiwa hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah sebagai awal perhitungan kalender Islam. Pilihan ini karena hijrah dianggap sebagai titik penting dalam sejarah Islam, menandai awal berdirinya masyarakat Muslim yang terorganisir. Keputusan kolektif ini menghasilkan kalender Hijriah yang dimulai dari tahun 622 M. Sistem ini kemudian dipakai oleh umat Islam di seluruh dunia hingga sekarang sebagai kalender untuk menandai peristiwa-peristiwa keagamaan, seperti penentuan hari besar Islam.
Khalifah Umar bin Khattab adalah tokoh utama dalam proses ini, dikenal karena sikapnya yang visioner dan konsultatif dalam pemerintahan. Keputusannya untuk bermusyawarah mencerminkan pendekatan ijtihad jama’i yang melibatkan para sahabat utama dalam keputusan yang berdampak luas.

Kebijakan tentang Pembagian Harta Rampasan Perang (Ghanimah) para sahabat dihadapkan pada isu pembagian ghanimah (harta rampasan perang). Sebagai hasil perang, berbagai bentuk harta dari musuh diperoleh dan perlu dibagi secara adil di antara kaum Muslimin yang terlibat. Namun, muncul perbedaan pendapat mengenai kriteria dan prioritas penerima harta tersebut, terutama antara kaum Anshar dan Muhajirin. Rasulullah SAW mengundang para sahabat, termasuk Abu Bakar, Umar, dan para pemimpin Anshar dan Muhajirin untuk bermusyawarah. Diskusi kolektif ini melibatkan pandangan yang beragam, dengan mempertimbangkan kontribusi setiap pihak serta prinsip keadilan dan persaudaraan. Akhirnya, keputusan dibuat untuk mendahulukan kaum Anshar sebagai penerima utama, karena mereka telah memberikan tempat tinggal dan bantuan kepada kaum Muhajirin.
Keputusan ini tidak hanya membangun persatuan antara Anshar dan Muhajirin tetapi juga menunjukkan nilai solidaritas dalam Islam, yang tetap menjadi panduan dalam hukum harta rampasan hingga kini. Nabi Muhammad SAW memimpin proses ijtihad jama’i dengan mengutamakan asas musyawarah, dan para sahabat memberikan pandangan yang mendukung integrasi komunitas Muslim Madinah.

Penulisan Mushaf Al-Qur'an pada Masa Khalifah Utsman bin Affan umat Islam mulai menyebar ke berbagai wilayah, dan terjadi perbedaan bacaan Al-Qur'an yang berpotensi menimbulkan konflik. Situasi ini memerlukan penanganan untuk menjaga kesatuan umat dan keutuhan bacaan Al-Qur'an. Khalifah Utsman bin Affan memprakarsai penyusunan Mushaf yang seragam dengan mengumpulkan para penghafal dan penulis Al-Qur'an, termasuk Zaid bin Tsabit, Ubay bin Ka'b, dan Abdullah bin Mas'ud. Mereka berdiskusi dan memutuskan standar bacaan yang harus diikuti seluruh umat Muslim, berdasarkan bacaan yang diajarkan langsung oleh Nabi. Mushaf hasil ijtihad ini dikenal sebagai Mushaf Utsmani. Mushaf Utsmani menjadi standar bacaan Al-Qur'an yang seragam dan diakui hingga sekarang, mencegah perpecahan di kalangan umat Muslim dan menjadi pedoman hingga kini. Khalifah Utsman bin Affan menjadi pelopor ijtihad ini dengan bijaksana, menunjukkan komitmen terhadap persatuan umat dan menjaga kemurnian Al-Qur'an. Namun disisi lin beberapa hasil rumusan pada masa kontemporer, berikut beberapa putusan yang di jadikan sample pada tulisan ini;

Fatwa tentang Transplantasi Organ oleh Majma’ al-Fiqh al-Islami. Di masa modern, transplantasi organ menjadi salah satu isu penting yang tidak diatur dalam teks klasik. Praktik medis ini menimbulkan pertanyaan etis dan hukum mengenai apakah tindakan transplantasi sesuai dengan syariah. Majma’ al-Fiqh al-Islami mengadakan pertemuan yang melibatkan ulama dan pakar medis dari berbagai negara untuk merumuskan pandangan syariah terkait transplantasi organ. Proses ijtihad jama’i ini menggunakan maqasid syariah (tujuan syariah) untuk mencapai maslahat (kebaikan umum), di mana penyelamatan nyawa diprioritaskan.
Keputusan kolektif ini memperbolehkan transplantasi organ, dengan syarat tindakan ini dilakukan secara sukarela dan tidak merugikan donor. Fatwa ini menjadi rujukan umat Islam dalam bidang medis di seluruh dunia.

Hukum Kewarganegaraan Ganda oleh Rabithah Alam Islami, globalisasi menimbulkan permasalahan baru mengenai status kewarganegaraan ganda, yang sebelumnya tidak dikenal. Banyak Muslim memiliki ikatan dengan lebih dari satu negara, dan hukum syariah perlu mengatur status tersebut. Rabithah Alam Islami dan Majma’ al-Fiqh al-Islami mengadakan diskusi untuk merumuskan pandangan syariah mengenai kewarganegaraan ganda, mempertimbangkan maslahat umat dan kelancaran hubungan antarnegara.
Keputusan dari ijtihad jama’i ini mengizinkan kewarganegaraan ganda dengan ketentuan yang memperhatikan kewajiban agama, memberikan fleksibilitas kepada umat Muslim untuk beradaptasi di era global.

Pembayaran Zakat Fitrah dengan Uang di Masa Modern pada masa klasik, zakat fitrah dibayarkan dalam bentuk bahan makanan pokok. Namun, pada masa modern, penyerahan zakat dalam bentuk uang dianggap lebih praktis dan efisien dalam distribusi. Para ulama dari berbagai organisasi Islam modern berkumpul untuk mendiskusikan kebolehan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, dengan mempertimbangkan kemudahan dalam distribusi dan maslahat bagi penerima zakat. Keputusan kolektif mengizinkan pembayaran zakat fitrah dalam bentuk uang, menjawab kebutuhan masyarakat Muslim modern yang memerlukan fleksibilitas dalam pelaksanaan zakat.

Penetapan kalender Hijriah, kebijakan ghanimah, dan penyusunan Mushaf adalah contoh ijtihad jama’i di masa klasik yang memberikan warisan hukum berkelanjutan. Sementara itu, contoh-contoh kontemporer seperti transplantasi organ, kewarganegaraan ganda, dan pembayaran zakat fitrah dalam uang menunjukkan bagaimana ijtihad jama’i tetap dalam menjawab tantangan modern.
Realitas ijtihad jama’i di Indonesia menampilkan dinamika yang unik dalam konteks sosial, historis, dan hukum. Sebagai negara dengan jumlah umat Muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki tantangan tersendiri dalam menerapkan prinsip-prinsip ijtihad kolektif dalam berbagai aspek kehidupan. Hal ini mencakup bidang-bidang seperti hukum keluarga, ibadah, ekonomi, dan persoalan sosial kontemporer, yang membutuhkan adaptasi dari hukum Islam untuk menjawab kebutuhan masyarakat modern. Sejarah penerapan hukum Islam di Indonesia mencerminkan pendekatan yang dinamis dan adaptif, yang sudah berlangsung sejak masa kerajaan-kerajaan Islam Nusantara hingga era modern. Pada masa kerajaan, ijtihad dilakukan oleh para ulama lokal yang berkolaborasi dengan penguasa untuk mengintegrasikan hukum Islam dengan hukum adat. Misalnya, dalam Kesultanan Aceh dan Demak, para ulama dan raja menggunakan pendekatan kolektif untuk menyusun aturan-aturan yang relevan dengan konteks sosial budaya lokal. Hal ini merupakan bentuk awal ijtihad jama’i, meskipun skalanya lebih kecil dan terbatas pada wilayah tertentu.

Ketika era kolonial Belanda, peran hukum Islam lebih banyak ditahan, dan pembentukan hukum didominasi oleh penguasa kolonial. Namun, setelah kemerdekaan, muncul inisiatif untuk merumuskan kembali hukum-hukum yang sesuai dengan kebutuhan umat Muslim Indonesia. Dibentuknya Kementerian Agama pada tahun 1946 menjadi salah satu tonggak sejarah penting dalam penerapan hukum Islam yang didasarkan pada prinsip ijtihad jama’i di tingkat nasional, termasuk pembentukan lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang memfasilitasi musyawarah hukum Islam.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) sebagai Lembaga Ijtihad Jama’i di Era Modern
Majelis Ulama Indonesia (MUI) didirikan pada tahun 1975 dengan tujuan utama untuk menyatukan pandangan ulama dari berbagai organisasi Islam di Indonesia, seperti NU, Muhammadiyah, dan Persis. MUI berfungsi sebagai wadah ijtihad jama’i dalam memberikan fatwa-fatwa terkait berbagai isu kontemporer yang belum dijelaskan secara eksplisit dalam Al-Qur'an dan Hadis. Melalui Komisi Fatwa MUI, proses ijtihad jama’i dilakukan secara kolektif dengan melibatkan ulama, akademisi, dan pakar dari berbagai disiplin ilmu yang relevan, sehingga keputusan yang diambil lebih representatif. Fatwa Tentang Produk Halal MUI secara kolektif menetapkan standar kehalalan untuk produk makanan, minuman, dan obat-obatan, yang kemudian ditetapkan dalam bentuk sertifikasi halal. Proses sertifikasi ini memerlukan penelitian yang melibatkan berbagai pakar dan lembaga terkait. Hasil fatwa ini tidak hanya berpengaruh di Indonesia tetapi juga diakui secara internasional.
Fatwa Tentang Pemanfaatan Teknologi Medis MUI telah mengeluarkan fatwa mengenai teknologi medis kontemporer, seperti bayi tabung dan transplantasi organ, yang melibatkan konsultasi dari ulama, dokter, dan ahli hukum. Keputusan ini didasarkan pada pertimbangan maqasid syariah (tujuan syariah) untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia.

Perumusan Hukum Islam dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) merupakan contoh nyata dari ijtihad jama’i yang dirumuskan untuk menciptakan keseragaman dalam penerapan hukum keluarga Islam di Indonesia. Diterbitkan pada tahun 1991, KHI merangkum aturan-aturan tentang pernikahan, perceraian, dan warisan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Muslim Indonesia. KHI ini disusun melalui musyawarah para ulama, akademisi, dan praktisi hukum dengan dukungan dari pemerintah, sehingga menjadi bentuk nyata ijtihad kolektif dalam mengkodifikasi hukum Islam.

Metodologi dalam Perumusan KHI melalui pendekatan kolektif dengan mempertimbangkan kebijakan syariah yang sesuai dengan realitas sosial di Indonesia. Dalam penyusunannya, KHI berusaha mengakomodasi prinsip-prinsip Islam yang bersifat universal sekaligus relevan dengan adat dan budaya Indonesia. Misalnya, dalam hal waris, KHI mempertimbangkan berbagai kondisi sosial-ekonomi keluarga Indonesia sehingga mengizinkan adaptasi dalam pembagian harta warisan berdasarkan maslahat.

Dinamika Ijtihad Jama’i di Indonesia dalam Era Kontemporer di Indonesia semakin berkembang dengan hadirnya lembaga-lembaga lain seperti Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dan Dewan Syariah Nasional (DSN). BPJPH mengawasi sertifikasi halal yang dahulu berada di bawah MUI, sementara DSN fokus pada pengembangan ekonomi syariah, termasuk perbankan, asuransi, dan investasi. DSN-MUI mengeluarkan fatwa terkait sistem perbankan dan investasi syariah, yang melarang praktik-praktik yang mengandung riba, gharar, dan maysir. Ini dilakukan dengan melibatkan pakar ekonomi, bankir, dan ulama syariah dalam proses ijtihad jama’i. Zakat Kontemporer Beberapa ulama Indonesia, melalui forum musyawarah seperti Baznas (Badan Amil Zakat Nasional), melakukan ijtihad jama’i untuk memperluas cakupan zakat, termasuk zakat profesi dan zakat perusahaan. Perumusan ini dilakukan dengan mempertimbangkan kebutuhan umat Islam modern dan mengikuti perkembangan sistem keuangan kontemporer.

Indonesia memiliki keberagaman mazhab dan tradisi yang dapat memengaruhi keputusan ijtihad jama’i, sehingga membutuhkan konsensus yang luas untuk menghindari perselisihan di antara berbagai kelompok. Integrasi Hukum Islam dengan Hukum Nasional dalam beberapa kasus, hukum Islam yang dihasilkan melalui ijtihad jama’i harus diselaraskan dengan hukum nasional yang bersifat sekuler, misalnya dalam pengesahan peraturan pernikahan dan wakaf.
Pengaruh Globalisasi dan Perkembangan Teknologi: Ijtihad jama’i juga harus berhadapan dengan isu-isu global dan perkembangan teknologi yang belum pernah ada sebelumnya, seperti teknologi finansial (fintech) dan bioetika.

Dasar utama dalam merumuskan hukum Islam yang relevan dan aplikatif bagi masyarakat modern. Pendekatan historis menunjukkan bahwa proses ini sudah berlangsung sejak masa kerajaan Islam, terus berkembang di era kolonial, dan semakin terstruktur pascakemerdekaan. Dengan lembaga-lembaga seperti MUI, DSN, dan BPJPH, ijtihad jama’i terus berperan penting dalam menjawab isu-isu kontemporer di Indonesia, mulai dari persoalan halal hingga ekonomi syariah. Realitas ini menegaskan bahwa Indonesia telah menerapkan ijtihad jama’i sebagai pendekatan hukum Islam yang adaptif dan berwawasan maslahat bagi kepentingan umat di tengah dinamika kehidupan modern. Meskipun ijtihad jama’i telah terbukti menjadi instrumen penting dalam merumuskan kebijakan hukum Islam yang responsif terhadap perkembangan zaman di Indonesia, ia juga tidak terlepas dari berbagai kritik dan tantangan.

Salah satu kritik yang sering disuarakan terhadap ijtihad jama’i di Indonesia adalah ketidak-konsistenan dalam menyusun keputusan-keputusan kolektif. Dalam praktiknya, hasil ijtihad jama’i yang dihasilkan melalui musyawarah ulama sering kali berbeda-beda, tergantung pada siapa yang terlibat dalam musyawarah tersebut, serta pengaruh politik dan kekuatan sosial yang ada. Misalnya, dalam kasus fatwa-fatwa yang dihasilkan oleh MUI atau lembaga fatwa lainnya, keputusan-keputusan yang muncul kadang tidak cukup tegas atau bahkan tampak kontradiktif dalam beberapa isu kontemporer. Contoh dalam kasus pengaturan zakat profesi. Beberapa ulama di Indonesia mengeluarkan fatwa yang mengharuskan zakat profesi dibayar oleh para pekerja, sementara yang lainnya belum sepenuhnya sepakat dengan konsep tersebut. Hal ini menunjukkan adanya perbedaan dalam pendekatan ijtihad jama’i yang berakar pada perbedaan interpretasi terhadap nash (teks-teks agama), yang kemudian dihadapkan dengan kondisi sosial-ekonomi umat Muslim di Indonesia yang beragam. Ketidak-konsistenan dalam hasil keputusan ini menciptakan kebingungan dan ketidakjelasan bagi masyarakat yang ingin mengikuti aturan tersebut.
Dominasi Kelompok Tertentu dalam Proses Ijtihad, meskipun dimaksudkan untuk mengakomodasi pendapat kolektif dari berbagai pihak, sering kali dikuasai oleh kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat. Di banyak kasus, keputusan ijtihad jama’i lebih banyak dipengaruhi oleh kelompok ulama yang berada dalam lingkaran politik atau organisasi besar, seperti Nahdlatul Ulama (NU) atau Muhammadiyah. Kelompok-kelompok ini memiliki peran yang sangat dominan dalam forum ijtihad, sehingga sering kali mengabaikan suara kelompok-kelompok minoritas dalam masyarakat Islam Indonesia.

Kritik ini sering kali muncul terutama ketika fatwa yang dikeluarkan lebih mencerminkan kepentingan politik atau sosial dari kelompok tertentu daripada kebutuhan umat secara keseluruhan. Dalam hal ini, proses ijtihad jama’i yang idealnya mencerminkan keragaman pemikiran dan kebutuhan umat, malah cenderung memperkuat hegemoni tertentu, yang pada gilirannya dapat menciptakan ketidakadilan dalam penerapan hukum Islam.

Kurangnya Keterlibatan Masyarakat dalam Proses Ijtihad sering kali dilaksanakan dalam ruang yang terbatas, hanya melibatkan ulama, akademisi, dan lembaga-lembaga tertentu yang dianggap memiliki otoritas. Padahal, masyarakat Muslim Indonesia memiliki berbagai pandangan yang beragam, baik dari segi pendidikan, ekonomi, maupun budaya. Beberapa kritik terhadap ijtihad jama’i di Indonesia berkaitan dengan kurangnya keterlibatan masyarakat secara langsung dalam proses ini, terutama dalam hal-hak-hak mereka yang langsung terkena dampak dari keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan dalam kasus fatwa tentang pernikahan, cerai, atau hak waris, keputusan-keputusan yang dihasilkan oleh para ulama cenderung lebih berbasis pada prinsip-prinsip yang diterima oleh kalangan tertentu saja, sementara suara masyarakat dengan latar belakang sosial dan ekonomi yang berbeda jarang mendapat perhatian. Padahal, ijtihad jama’i yang ideal adalah ijtihad yang bersifat inklusif dan melibatkan berbagai lapisan masyarakat, sehingga keputusan yang dihasilkan lebih mencerminkan kebutuhan praktis dan aspirasi umat secara lebih luas.

Adaptasi Terhadap Perubahan Sosial dan Teknologi dalam mengadaptasi hukum Islam terhadap isu-isu baru yang muncul, seperti masalah teknologi, bioetika, dan ekonomi digital. Salah satu kritik utama terhadap ijtihad jama’i di Indonesia adalah keterlambatan dalam merespon fenomena-fenomena baru yang tidak dihadapi oleh generasi ulama masa lalu.
Sebagai contoh, fatwa-fatwa terkait dengan teknologi seperti fintech (financial technology) dan e-commerce, atau masalah yang terkait dengan hak-hak individu dalam dunia maya, sering kali terlambat atau tidak mencakup aspek-aspek penting yang relevan dengan kehidupan umat Muslim di dunia digital. Proses ijtihad jama’i yang dilakukan oleh para ulama cenderung lebih lambat dibandingkan dengan perkembangan teknologi yang cepat, yang mengarah pada ketidakmampuan hukum Islam dalam merespon kebutuhan hukum yang relevan dengan era digital.
Pengaruh Politik dalam Pengambilan Keputusan tidak jarang dipengaruhi oleh situasi politik dan kebijakan negara. Terkadang, fatwa-fatwa yang dikeluarkan cenderung dipengaruhi oleh kekuasaan politik, yang bertujuan untuk memperoleh legitimasi sosial atau politik. Hal ini dapat terlihat dalam beberapa keputusan yang dihasilkan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan lembaga-lembaga fatwa lainnya yang kadang kala menyesuaikan diri dengan kebijakan pemerintah atau kelompok politik tertentu. fatwa tentang syariat Islam dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terkadang mencerminkan kecenderungan politik yang sedang dominan, daripada semata-mata berdasar pada kaidah-kaidah syariat yang murni. Ini menimbulkan keraguan di kalangan sebagian umat Islam mengenai independensi ijtihad jama’i dalam menghadapi isu-isu sosial dan politik yang kompleks.

Keterbatasan Perspektif dalam ijtihad Jama’i sering kali terbatas pada pendekatan fiqh yang sudah mapan tanpa memasukkan dimensi-dimensi baru seperti filsafat hukum Islam, etika, dan hak asasi manusia yang semakin relevan dalam dunia kontemporer. Sebagai contoh, dalam membahas isu-isu sosial dan ekonomi, seperti kemiskinan, pengangguran, atau kesenjangan sosial, ijtihad jama’i di Indonesia cenderung lebih fokus pada aspek teknis hukum, seperti kewajiban zakat dan infak, tanpa memperhatikan faktor-faktor struktural yang menyebabkan masalah-masalah sosial tersebut. Hal ini mengarah pada kritik bahwa ijtihad jama’i di Indonesia sering kali terlalu pragmatis dan tidak cukup reflektif terhadap perubahan besar yang terjadi dalam masyarakat, serta terbatas pada teks-teks agama klasik yang lebih relevan untuk konteks zamannya. Kritik terhadap ijtihad jama’i di Indonesia menunjukkan bahwa meskipun proses ini sangat penting dalam merumuskan hukum Islam yang relevan dan aplikatif di tengah perubahan sosial, politik, dan teknologi, ia tetap menghadapi berbagai tantangan dan keterbatasan. Dari ketidak-konsistenan dalam pengambilan keputusan, dominasi kelompok tertentu, keterbatasan perspektif, hingga pengaruh politik yang kuat, semua ini menunjukkan bahwa ijtihad jama’i harus terus diperbaharui dan disesuaikan dengan kondisi zaman. Oleh karena itu, penting bagi ijtihad jama’i untuk melibatkan partisipasi lebih luas dari masyarakat dan terus mengembangkan metodologi yang lebih inklusif, progresif, dan adaptif terhadap perkembangan zaman.


Kesimpulan & Hipotesis

Perkembangan di Indonesia ijtihad jama’i sering kali diwujudkan dalam bentuk fatwa-fatwa atau keputusan-keputusan hukum yang dihasilkan oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI) atau Komisi kolompok kelompok peyusunan Fatwa. Ijtihad jama’i, baik dalam perspektif ushul fiqh maupun fiqh, merupakan upaya kolektif yang sangat penting dalam mengembangkan hukum Islam yang relevan dengan kebutuhan zaman. Dalam praktiknya, ijtihad jama’i harus didasarkan pada prinsip-prinsip yang sesuai dengan tujuan-tujuan syariah (maqasid al-shariah), dengan melibatkan musyawarah dan pertimbangan kolektif dari para ulama untuk menghasilkan keputusan hukum yang tidak hanya sesuai dengan teks-teks agama, tetapi juga responsif terhadap perkembangan sosial dan ekonomi umat. Keputusan-keputusan ijtihad jama’i yang dihasilkan menjadi pedoman hukum bagi umat Islam, baik di Indonesia maupun di dunia Islam secara umum. Ijtihad jama’i adalah suatu proses kolektif yang dilakukan oleh para ulama untuk merumuskan hukum Islam yang relevan dengan kondisi sosial, politik, dan ekonomi umat Islam. Dalam konteks ini, ijtihad jama’i memiliki kedudukan yang sangat penting dalam sistem hukum Islam, baik dalam perspektif ushul fiqh maupun fiqh. Melalui ijtihad jama’i, hukum Islam dapat diadaptasi dengan perubahan zaman tanpa mengabaikan prinsip-prinsip dasar yang terkandung dalam al-Qur’an dan hadits. Dalam hal ini, ijtihad jama’i tidak hanya menjadi hasil pemikiran individual, tetapi merupakan suatu konsensus yang dihasilkan oleh musyawarah para ulama yang mendalami nash-nash agama dan konteks kekinian. Contoh penerapan ijtihad jama’i yang nyata dapat ditemukan dalam beberapa peristiwa sejarah Islam, seperti penetapan kalender Hijriyah oleh Khalifah Umar bin Khattab, pembagian harta ghanimah pasca Perang Hunain, serta penyusunan Mushaf al-Qur'an pada masa Khalifah Utsman bin Affan. Di Indonesia, ijtihad jama’i juga diimplementasikan dalam fatwa-fatwa yang diterbitkan oleh lembaga-lembaga seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI), yang memperbolehkan pembayaran zakat fitrah dengan uang dan pengaturan zakat profesi. Oleh karena itu, ijtihad jama’i menjadi salah satu instrumen dalam mengembangkan hukum Islam yang responsif terhadap dinamika sosial dan kebutuhan umat.
Berdasarkan kajian di atas, dapat diajukan hipotesis sebagai berikut:

Hipotesis I, Ijtihad jama’i, sebagai metode pengambilan keputusan hukum secara kolektif, dapat menjadi solusi yang efektif dalam menghadapi permasalahan hukum kontemporer yang tidak memiliki ketentuan langsung dalam nash.

Hipotesis II, Penerapan ijtihad jama’i di Indonesia, terutama dalam konteks hukum Islam, memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pengembangan hukum yang lebih fleksibel dan adaptif terhadap perubahan sosial dan kebutuhan umat, meskipun terdapat tantangan dalam hal kesepakatan antara para ulama yang berbeda pandangan.

Hipotesis III, Implementasi ijtihad jama’i dapat memperkuat kesatuan dan kemajuan umat Islam, jika dilakukan dengan memperhatikan maqasid al-shariah (tujuan-tujuan syariah) dan maslahat (kemaslahatan) umat, dengan menggunakan pendekatan yang inklusif dan berbasis pada nilai-nilai Islam yang rahmatan lil-‘alamin. Dengan demikian, ijtihad jama’i memiliki potensi untuk merumuskan hukum yang lebih relevan dengan tantangan zaman, namun membutuhkan proses yang mendalam dan partisipasi ulama yang terus memperbaharui wawasan mereka terhadap realitas sosial yang berkembang.




















































































 

Referensi:

Al-‘Izz ibn ‘Abd al-Salam. Qawa'id al-Ahkam fi Masalih al-Anam (قواعد الأحكام في مصالح الأنام). Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2000.
Taha Jabir Al-Alwani. Usul al-Fiqh al-Islami (أصول الفقه الإسلامي). Herndon, Virginia: International Institute of Islamic Thought (IIIT), 1990.
Al-Suyuti, Jalaluddin. Al-Itqan fi 'Ulum al-Qur'an. Dar al-Fikr, 2006.
Ibn Qudamah, Abdulrahman. Al-Mughni. Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 1997.
Al-Shafi’i, Muhammad. Al-Risalah. Dar al-Ma'arifah, 2014.

Al-Baji, Abu al-Walid. Ihkam al-Fusul fi Ahkam al-Usul (إحكام الفصول في أحكام الأصول). Beirut: Dar al-Gharb al-Islami, 1986.
Al-Bouti, Muhammad Sa’id Ramadan. Al-Lamadhhabiyyah Akhtar Bid’ah Tuhaddid ash-Shariah al-Islamiyyah (اللامذهبية أخطر بدعة تهدد الشريعة الإسلامية). Beirut: Dar al-Fikr, 1995.

Abdurrahman, A. Fikih Kontemporer: Kajian Hukum Islam dalam Perspektif Global. Lembaga Penerbit Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga, 2008.
Asy-Syahrastani, Abu al-Fath. Kitab al-Milal wa al-Nihal: Filsafat dan Pemikiran Islam. pustaka Arah, 2012.
MUI (Majelis Ulama Indonesia). Fatwa Majelis Ulama Indonesia
Saefuddin, A. Fikih Sosial dan Masalah Kontemporer dalam Perspektif Islam. Pustaka Al-Hikmah, 2011.
Sulaiman, A. Ijtihad Jama'i dan Kontribusinya dalam Hukum Islam. Kencana, 2014.

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Bukunya Tak Pernah Dibaca

Elegi Berserakan

Sumpah Hukum di Pelataran Etika

Questions Without Answers

Narasi Kronik Diferensiasi Pengabdian KKN

Fanatisme Islam & Truth Claim seputar "Al fikroh al Najiyah"

Privasi Era Digital Milik Siapa Data Kita

Martin Luther King dan Gerakan Hak Sipil

Positivisme Logis Ludwig Wittgenstein: dalam Pengembangan Logika dan Bahasa